Kamis, 16 November 2017

Santun dalam Berpolitik, Bisakah?

BERPOLITIK santun, apa sesungguhnya maksudnya? Ibarat orang makan, kalau adat Timur, ya duduk, pakai suap dan mencuci tangan sebelum menyuap. Sebelum memulai makan, juga mempelawa (kata orang Melayu, maksudnya berbasa-basi, mengajak) orang-orang yang mungkin ada di sekitar tempat makan. Pokoknya tidak sesukanya saja walaupun nasi, piring, gelas dan semua yang di depannya adalah miliknya.


Ada tata kebiasaan yang dipakai waktu melakukan sesuatu. Begitu jugalah rupanya dalam berpolitik. Walaupun tujuan berpolitik adalah untuk meraih kekuasaan, tentulah dalam usaha meraih itu tidak bisa sesuka saja. Ada aturan kebiasaan yang sudah ditentkan menurut normanya.

Jadi, ketika akan menyampaikan pernyatan yang berkaitan dengan politik, ada tatakrama yang mestinya diamalkan. Tidak sesuka hati, kalimat-kalimat memdihkan telinga atau menyakiti orang-orang yang mendengarnya. Inti berpolitik santun itu, kata orang-orang pintar, haruslah santun, ya santu. Santunya itu, ternyata maksdunya adalah ketika menyampaikan sesuatu, menggunakan bahasa yang baik dalam arti tidak kasar. Tidak mjenusuk hati dan pribadi seseorang atau kelompok orang yang mungkin tidak sejalan dengannya. Tidak juga menggunakan momen 'mentang-mentang' alias menangguk di air keruh.

Jika berpolitik masih seperti itu, ya artinya belumlah berpilitik secara santun. Tidaklah baik seperti itu. Apalagi bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang agamais, bermoral tinggi, sopan-santun dan ramah-tamah. Tidak harus sebaliknya dalam tindak-tanduk berpolitik. Dan khusus bagi Golkar yang menjadikan jargon 'suara partai suara rakyat' maka sopan dan santun berpolitik ini sangatlah perlu dibuktikan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar